Memperoleh kehidupan dan pendidikan yang layak adalah hak setiap manusia, terlebih lagi anak-anak. Rasulullah bahkan mencontohkan kepada umatnya untuk selalu mengasihi anak-anak dengan memberikan hak-haknya secara wajar.
Namun, tidak semua anak-anak mendapatkan
apa yang menjadi hak mereka. Ada di antara mereka mereka yang
kehilangan orang tua sehingga menjadi yatim dan tidak mendapat kasih
sayang yang semestinya atau ada pula di antara mereka yang hidup dalam
lingkungan yang serba kekurangan. Oleh karena itu, Rasulullah menekankan
umatnya yang mampu untuk selalu berbagi dan mengasihi anak yatim dan
dhuafa.
Kasih sayang dapat diibaratkan sebuah
mata air yang selalu bergejolak keinginannya untuk melepaskan
beribu-ribu kubik air bening yang membuncah dari dalamnya tanpa pernah
habis. Sama pula seperti pancaran sinar cerah matahari, dulu sampai
sekarang terus menerus memancarkan sinarnya tanpa henti. Seharusnya
seperti itu pula sumber kasih sayang kita kepada anak-anak yang
membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
« أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَا » وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئاً
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga
seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya.Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang meyantuni anak yatim, sehingga imam Bukhari mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan orang yang mengasuh anak yatim.
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Makna hadits ini: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[2].
- Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar[3].
- Yang dimaksud dengan anak yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya sebelum anak itu mencapai usia dewasa[4].
- Keutamaan dalam hadits ini belaku bagi orang yang meyantuni anak yatim dari harta orang itu sendiri atau harta anak yatim tersebut jika orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan untuk itu[5].
- Demikian pula, keutamaan ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya[6].
- Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan mengasuh anak yatim, yang ini sering terjadi dalam kasus “anak angkat”, karena ketidakpahaman sebagian dari kaum muslimin terhadap hukum-hukum dalam syariat Islam, di antaranya:
{ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ
هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ}
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka
sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” (QS al-Ahzaab: 5).2. Anak angkat/anak asuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang mengasuhnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia[7].
3. Anak angkat/anak asuh bukanlah mahram[8], sehingga wajib bagi orang tua yang mengasuhnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.
Posting Komentar